PRAKTIKUM II
ANALGETIKA
I.
TUJUAN
Mahasiswa mengenal dan mempraktekkan
pengujian daya analgesic dengan menggunakan metode rangsang kimia
II.
DASAR
TEORI
Pengertian nyeri
Nyeri
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.
Fisiologi
nyeri
Reseptor nyeri
adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor
kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :
a.
Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat
(kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b.
Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat
(kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam,
nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri
somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh
darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia
dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate
control theory)
Terdapat berbagai
teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali
nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari
Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan
aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka
akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan
pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Analgetik
Analgetik adalah obat atau
senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran
akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di
bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Analgetik
diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapatditimbulkan
oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatunilai
ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses
pertama denganmempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan
narkotik menekanreaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika
dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang
tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang
termasuk kelompok ini
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri
hebat, seperti pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi
dalam bebrapa kelompok, yakni :
a. parasetamol
b. salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan
metamizol
f. lainnya :
benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
Metode Pengujian Aktivitas Analgetik
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi
pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara
maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi
nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat
analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan
mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada
respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau
juga peranan frekuensi respon nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri
yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan
percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat
pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks
respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan
kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan
kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal
Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu
tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja
Phytomedica, 1993). Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi
juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et
al., 2003).
2. Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora dan
Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan
atau cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik
yang diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing,
kelinci, tikus dan mencit (Manihuruk, 2000).
3. Metode Panas
Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan pada suhu 60 ± 1oC.
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan pada suhu 60 ± 1oC.
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
c. Metode hot plate
Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta et al., 2003). Pada metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 ± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).
Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral (Gupta et al., 2003). Pada metode ini hewan percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 ± 1oC) sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas analgesik (Adeyemi, 2001).
4. Metode Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikan
pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi
obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit (Manihuruk,
2000).
III.
ALAT DAN BAHAN
A.
Alat dan Bahan
Alat
·
Spuit Injeksi (0,1-1ml) : 1 buah
·
Jarum Sonde : 1 buah
·
Handscoon : secukupnya
·
Masker :
secukupnya
Bahan
·
Larutan Na CMC dalam air 1% : 1ml
·
Steril Asam Asetat (SAA) : 2,055ml
·
Larutan suspensi Parasetamol dalam CMC
1% : 1,5ml
·
Hewan uji : 3 ekor
mencit
B.
Cara Kerja
Setelah 5 menit,
diinjeksikan i.p
|
Diinjeksikan
p.o
|
Diinjeksikan p.o
|
Diinjeksikan
p.o
|
1ml Larutan CMC 1%
|
Mencit 1
(kontrol)
|
Mencit 3
|
Mencit 2
|
0,5ml suspensi pct dlm CMC
1%
|
1ml suspensi pct dlm CMC 1%
|
Larutan SAA 1% dengan dosis
yang sudah dikonversikan ke berat mencit
|
Dihitung
|
Geliat yang ditimbulkan
mencit
|
% daya analgetik
|
Dihitung setiap 5 menit selama 30 menit
|
IV.
HASIL PERCOBAAN
Mencit ke-
|
Perlakuan
|
Jumlah geliat (per menit)
|
Kumulatif
|
% daya
analgetik
|
||||||
p.o
|
i.p (SAA1%)
|
5
|
10
|
15
|
20
|
25
|
30
|
|||
1
|
Kontrol (CMC1%)
|
0,735ml
|
3
|
32
|
43
|
42
|
32
|
29
|
181
|
-
|
2
|
0,5ml pct
|
0,57ml
|
1
|
8
|
24
|
18
|
12
|
4
|
67
|
62,98%
|
3
|
1ml pct
|
0,75ml
|
0
|
5
|
10
|
17
|
9
|
5
|
46
|
74,59%
|
Konversi
dosis dan perhitungan % daya analgetik
a. Berat
mencit
Berat mencit 1 : 24,5 gram = 0,0245 kg
Berat mencit 2 : 19 gram = 0,019 kg
Berat mencit 3 : 25 gram = 0,025 kg
b. Dosis
parasetamol untuk manusia :
-
Dosis lazim parasetamol untuk manusia :
500-1000 mg untuk 1xpakai
-
Konversi dosis ke mencit (x0,0026) sehingga dosis parasetamol untuk
mencit : 1,3mg – 2,6mg
-
Sediaan parasetamol = 250mg/100ml
Sehingga volume parasetamol yang diberikan ke mencit
:
-
Dosis parasetamol yang diberikan pada
mencit secara p.o :
Mencit 1 : sebagai kontrol (tidak diberikan pct), diinjeksikan
CMC 1%
Mencit 2 : diinjeksikan 0,5 ml pct
Mencit 3 : diinjeksikan 1 ml pct
c. Dosis
SAA yang diinjeksikan i.p pada mencit
Dosis SAA : 300mg/kgBB
mencit
Sediaan SAA 1% =
1g/100ml = 10mg/ml
Sehingga dosis SAA yang
diinjeksikan secara p.o pada mencit adalah :
-
Mencit 1 :
300mg/kgx0,0245 kg = 7,35 mg
Volume pengambilan :
-
Mencit 2 : 300mg/kgx0,019kg = 5,7 mg
Volume pengambilan :
-
Mencit 3
: 300mg/kgx0,0025kg = 7,5 mg
Volume pengambilan
:
d. %
daya analgetik
-
Mencit 1 : kontrol sehingga tidak
dihitung jumlah geliat
-
Mencit 2 : 0,5ml pct
% daya analgetik =
=
=
=
-
Mencit 3 : 1ml pct
% daya analgetik =
=
=
=
V.
PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum
ini adalah agar mahasiswa mengenal dan mempraktikkan pengujian daya analgesik
dengan menggunakan metode rangsangan kimia.
Analgetik adalah
senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif. Digunakan untuk
mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik
bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
Berdasarkan meknisme kerja analgetik dibagi menjadi dua yaitu analgetik non
narkotik dan analgetik narkotik. Analgetik non-narkotik digunakan untuk
mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut
analgetik ringan. Analgetik non-narkotik bekerja
menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis prostaglandin
yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Sedangkan Analgetik narkotik
adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif.
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas
pada sel dalam otak dan spinal cord.
Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euphoria
dan rasa mengantuk.
Analgetik dipergunakan
untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Nyeri yang diinduksikan
kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode rangsang kimia. Iritan kimia yang
digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara intra peritoneal
terhadap hewan uji yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia
digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang
digunakan untuk penetapan daya analgetika (Katzung, 1986).
Obat analgetik yang
memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah
Paracetamol karena Paracetamol merupakan derivat-asetanilida adalah metabolit
dari fenasetin. Paracetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik,
Paracetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, oleh karena itu
obat ini lebih dipilih dalam percobaan ini. Adapun pada Asam Mefenamat,
Asetosal atau Aspirin mekanisme nyerinya sama sebagaimana Paracetamol sebagai
analgetik AINS namun afek samping berupa iritasi lambung lebih tnggi resikonya
daripada Paracetamol sehingga, Paracetamol lebih dipilih dalam pengujian efek
analgetik pada percobaan ini.
Mekanisme terjadinya
nyeri yaitu adanya rangsangan-rangsangan
mekanis/kimiawi (kalor/listrik) yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada
jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator
nyeri. Pada percobaan ini rangsang nyeri diberikan berupa iritan kimia, dengan
cara menginjeksikan secara intra peritoneal zat iritan berupa steril asam
asetat. Efek nyeri akan timbul dalam waktu yang lebih cepat karena iritan
diberikan sacara intra peritoneal. Setelah rangsang nyeri menimbulkan reaksi pada
mediator nyeri akan timbul geliat pada hewan uji (Tjay, 2007).
Adapun mediator nyeri
antara lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin,
prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini merangsang
reseptor- reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit, selaput
lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf
pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di
otak besar (rangsangan sebagai nyeri). Sehingga timbul rasa nyeri yang dapat
dilihat terjadi pada hewan uji dengan adanya geliat-geliat yang menandakan
mencit merasakan kesakitan (Ganiswara, 1995).
Selanjutnya, efek nyeri
itu akan bereaksi dengan obat analgetik yang diberikan. Dengan adanya obat
analgetik maka ambang nyeri ditingkatkan sehingga menyebabkan respon terhadap
nyeri itu lebih kecil. Semua obat analgetik non opioid, termasuk Paracetamol
yang digunakan pada percobaan ini, bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Paracetamol menghambat siklooksigenase
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Paracetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan
Paracetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang. Paracetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa Paracetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek
zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang
ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain.
Pada praktikum ini
analgetik yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu Paracetamol yang
disuspensikan dalam CMC 1%. Dengan kontrol menggunakan CMC 1%. Praktikum ini
menggunakan metode rangsangan kimia. Rangsangan kimia pada praktikum ini
diberikan dengan pemberian steril asam acetat 1% (SAA). Selain itu dalam
praktikum ini hewan uji yang digunakan
yaitu mencit. Mencit digunakan sebagai hewan uji karenamudah disimpan dan
dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru. Selain itu
mencit percobaan hampir identik secara
genetis.Genetik mereka, karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia,
dan banyak gejala kondisi manusia dapat direplikasi pada tikus.
Pada percobaan ini
pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis serta volumenya, hal ini
dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan pemberian volume yang
berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini yaitu dosis
manusia kepada hewan uji yaitu mencit. Konversi dosis manusia ke mencit
dikalikan 0,0026 dari dosis manusia 70kg ke mencit 20g yang kemudian
disesuaikan dengan berat badan mencit. Pada praktikum ini konversi dosis
Paracetamol dari manusia sebesar 500-1000mg diperoleh dois Paracetamol untuk
mencit sebesar 1,3mg – 2,6mg. Pemberian ini tidak boleh melebihi volume
maksimal larutan yang bisa diberikan pada mencit dalam hal ini adalah per oral
dan intra peritonial yang maksimum volume pemberiannya sebesar 1,0ml.
Karena sediaan yang dimiliki sebesar
250mg/100ml sehingga pemberian Paracetamol pada mencit sebesar 0,5ml sampai
1ml. Sedangkan dosis SAA pada mencit sebesar 300mg/kgBB, sehingga diperoleh
dosis untuk mencit 0,0245kg, 0,019kg dan 0,025kg sehingga diperoleh dosis
pemberian pada mencit sebesar 7,35mg, 5,7mg dan 7,5mg. Karena sediaan yang
dimiliki adalah SAA1% (1g/100ml) sehingga volume saa yang diberikan
berturut-turut sebesar 0,235ml, 0,57ml dan 0,75ml.
Langkah
kerja dari percobaan ini adalah pengujian dilakukan dengan cara menimbang berat
mencit masing-masing sebanyak 3 ekor. Untuk masing-masing mencit dilakukan
konversi dosis agar pemberian dosis pada hewan uji mencit ini tidak melebihi
batas yang ditetapkan. Terdapat 3 tahap uji, tahap pertama yaitu pada mencit
pertama, yaitu sebagai kontrol disuntik secara per oral dengan larutan CMC 1%
sebanyak 1 ml kemudian mencit kedua secara per oral diberi 0,5 ml suspensi
paracetamol dalam CMC 1% dan pada mencit ketiga secara per oral diberi 1 ml
susoensi parasetamol dalam CMC 1%. Setelah 5 menit pemberian kemudian mencit
kedua dan ketiga diinjeksi secara intra peritonial dengan larutan Steril asam
asetat (SAA) 1% sebanyak konversi dosis yang telah dihitung terlebih dahulu.
Kemudian dilakukan pengamatan pada ketiga mencit dilihat dari geliatan mencit
dan dicatat kumulatif geliatan mencit setiap selang waktu 5 menit selama 30
menit. Kemudian dihitung % daya analgetik dengan rumus :
%
daya analgetik = 100 – ( P/K x 100 )
Pada
percobaan ini alat yang digunakan yaitu spuit injeksi ( 0,1 – 1 ml ), sonde dan
gelas beaker. Spuit injeksi dan sonde disini berfunsi untuk alat injeksi yang
digunakan untuk menginjeksi mencit yang beriisikan larutan yang akan
diinjeksikan. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu Steril asam asetat (SAA) 1%
yang berfungsi sebagai pemberi rasa nyeri pada mencit atau disebut sebagai
penginduksi nyeri dan suspensi paracetamol dalam larutan CMC 1% yang berfungsi
sebagai analgetik. SAA dapat memberikan suasana asam dengan melepas ion H+ yang
berperan sebagai mediator nyeri yang mempengaruhikerja sistem saraf, sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini dapat dilihat melalui gejala menggeliat
pada mencit. Gejala sakit pada mencit sebagai akibat pemberian SAA secara i.p
yaitu adanya kontraksi dari dinding perut, kepala, dan kaki ditarik ke belakang
sehingga abdomen menyentuh dasar dari ruang yang ditempati yang disebut geliat.
Paracetamol
merupakan obat analgetik lemah yang bekerja mempengaruhi proses sintesis dari
prostaglandin yang berperan dalam mekanisme nyeri, reaksi radang dan demam.
Hasil pengamatan
menunjukkan mencit yang diberi Paracetamol dengan volume lebih banyak memiliki
aktivitas geliat lebih sedikit, karena diberikan Paracetamol dengan volume
lebih banyak sehingga kemampuan analgetik akan lebih besar. Berbeda dengan
mencit yang diberikan CMC sebagai konrol memilki geliat yang lebih banyak.
Jumlah geliat mencit
dihitung setiap 5
menit selama 30 menit. Pada 5 menit pertama memilki geliat sedikit
lama-lama geliat bertambah dan geliat menurun pada pada menit-menit akhir. Selanjutnya
dihitung % daya analgetik dengan rumus:
Pada mencit II memiliki
% daya analgetik 62,98% dan pada mencit III memilki daya analgetik 74,59%. Hal
ini menunjukkan pada mencit III memiliki kemampuan analgetik lebih besar
sehingga memiliki geliat lebih sedikit.
Analgetika adalah obat atau senyawa yang
dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Nyeri yang
diinduksikan kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode rangsang kimia.
Iritan kimia yang digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara
intra peritoneal terhadap hewan uji yaitu mencit (Mus muscullus). Metode
rangsang kimia digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh
zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika (Katzung, 1986).
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan
presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah parasetamol karena Parasetamol
merupakan derivat-asetanilida adalah metabolit dari fenasetin. Parasetamol
berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik, Parasetamol dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, oleh karena itu obat ini lebih dipilih dalam
percobaan ini. Adapun pada asam mefenamat, asetosal atau aspirin mekanisme
nyerinya sama sebagaimana parasetamol sebagai analgetik AINS namun afek samping
berupa iritasi lambung lebih tnggi resikonya daripada parasetamol sehingga,
parasetamol lebih dipilah dalam pengujian efek analgetik pada percobaan ini.
Mekanisme terjadinya nyeri yaitu adanya rangsangan-rangsangan
mekanis/kimiawi (kalor/listrik ) yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan
pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut
mediator-mediator nyeri. Pada percobaan ini rangsang nyeri diberikan berupa
iritan kimia, dengan cara menginjeksikan secara intra peritoneal zat iritan
berupa steril asam asetat. Efek nyeri akan timbul dalam waktu yang lebih cepat
karena iritan diberikan sacara intra peritoneal. Setelah rangsang nyeri
menimbulkan reaksi pada mediator nyeri akan timbul geliat pada hewan uji (Tjay,
2007).
Adapun mediator nyeri antara lain : histamin,
serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-prostaglandin, ion-ion
kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor nyeri pada ujung saraf
bebas di kulit, selaput lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf
sensoris ke susunan syaraf pusat ( SSP ) melalui sumsum tulang belakang ke
talamus dan ke pusat nyeri di otak besar ( rangsangan sebagai nyeri ). Sehingga
timbul rasa nyeri yang dapat dilihat terjadi pada hewan uji dengan adanya
geliat-geliat yang menandakan mencit merasakan kesakitan (Ganiswara, 1995)
Selanjutnya, efek nyeri itu akan bereaksi dengan
obat analgetik yang diberikan. Dengan adanya obat analgetik maka ambang nyeri
ditingkatkan sehingga menyebabkan respon terhadap nyeri itu lebih kecil. Semua
obat analgetik non opioid, termasuk parasetamol yang digunakan pada percobaan
ini, bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada
pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol
tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini
menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen
dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh
sebab lain.
VI. JAWABAN PERTANYAAN
1. Bagaimana
pengaruh dosis analgetik terhadap mencit?
2. Bagaimana
mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf
pusat? Bagaimana kerja dari analgesik?
Jawaban:
1. Pengaruh
obat analgetik terhadap mencit adalah semakin besar dosis yang diberikan maka
geliat pada mencit semakin sedikit. Hal ini dikarenakan kerja dari analgetik
semakin maksimal. Analgetik (dalam praktek ini adalah parasetamol) menaikkan
ambang nyeri dari mencit.
2. Mekanisme
rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf pusat adalah nyeri
nosiseptif terjadi ketika ada stimulus memicu reseptor nyeri, stimulus tersebut
akan diubah menjadi impuls saraf pada saraf aferen primer dan ditransmisikan
sepanjang saraf aferen menuju spinal cord
dan akhirnya sampai pada pusat nyeri di dalam otak yang akan menimbulkan
persepsi nyeri.
Mekanisme kerja analgesik
berhubungan dengan penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Biosintesis
prostaglandin diperantarai oleh enzim COX(Siklooksigenase). Luka pada jaringan
akan merusak membran sel lalu fosfolipid keluar melepaskan asam arakidonat
dimana pada sisi aktif COX asam arakidonat akan diubah menjadi PGG2,
selanjutnya pada sisi aktif perioksidase, PGG2 tersebut akan dikonversi menjadi
PGH2, lalu PGH2 oleh berbagai enzim akan diubah menjadi berbagai tipe
pprostaglandin. Analgetik secara umum bekerja dengan menaikkan ambang nyeri.
VII.
KESIMPULAN
1. Analgetik
adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif.
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik
bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
2. Analgetik
yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu Paracetamol yang
disuspensikan dalam CMC 1%. Dengan kontrol menggunakan CMC 1% yang keduanya
telah disesuaikan dosisnya.
3. Praktikum
ini menggunakan metode rangsangan kimia,yaitu diberikan dengan pemberian steril
asam acetat 1% (SAA) dengan hewan uji mencit, karena mudah disimpan dan
dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru. Selain itu
mencit percobaan hampir identik secara
genetis dengan manusia.
4. Pemberian
di lakukan secara oral dan intra peritonial. Pemberian tidak boleh melebihi
volume maksimal larutan yang bisa diberikan pada mencit dalam hal ini adalah
per oral dan intra peritonial yang maksimum volume pemberiannya sebesar 1,0ml.
5. Volume
pengambilan di tentukan dari perhitungan berat mencit yang di uji.
6. Hasil
pengamatan menunjukkan mencit yang diberi Paracetamol dengan volume lebih
banyak memiliki aktivitas geliat lebih sedikit, karena diberikan Paracetamol
dengan volume lebih banyak sehingga kemampuan analgetik akan lebih besar.
7. Pada
mencit II memiliki % daya analgetik 62,98% dan pada mencit III memilki daya
analgetik 74,59%
VIII.
DAFTAR
PUSTAKA
Adeyemi. 2001. Analgesic and Anti-inflammatory Effects of The Aqueous Extract of
Leaves of Persea americana Mill. (Lauraceae). Italy: J. Fitoterapia, 73,
Elsevier, Indena, p. 375-377.
Anief Moh. 2000. Prinsip Umum dan
Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Anonim. 2008. Konsep Dasar Nyeri. http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html
(diakses tanggal 16 April 2013).
Ganiswara, Sulistia G
(Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas
Indonesia Press.
Gupta, M., U.K. Mazumder, R.S. Kumar dan
T.S. Kumar. 2003. Studies on Anti-
inflammatory, Analgesic and Antipyretic Properties of Methanol Extract of
Caesalpinia bonducella leaves in Experimental Animal Models, Iranian J.
Pharmacology & Therapeutics. Calcutta, India: Razi Institute for Drug
Research.
Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi
Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia
dan Pengujian Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6.
Manihuruk, E. Skripsi: Aktivitas Analgesik Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour.)
Merr. dan Gynura pseudochina (L.) DC.) pada Mencit Dengan Metode Geliat.
Jatinangor: Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Padjadjaran. hal. 18.
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Pentatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. Hal 1-63
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat
Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Vohora, S.B. and P.C. Dandiya. 1992. Herbal Analgesic Drugs. Italy: J.
Fitoterapia, LXIII (3), Elsevier, Indena. p. 202
Wuryaningsih, L.E., M.A. Rarome, T.
Windono. 1996. Uji Analgesik Ekstrak Etanol Kering Rimpang Kencur Asal
Purwodadi pada Mencit Dengan Metode Geliat (Writhing Reflex Test), 3. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. hal.
24-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar